MAKALAH FIQIH MUAMALAH
“ Hybird Contracts Dalam Produk Keuangan Syari’ah ”
Disusun
oleh : 1. Hutri Astari
2.
Novi Dwi Hermatiyanti
3. Nadi
Irawansyah
Dosen Pembimbing
Khairiah
Elwardah
FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
PRODI PENDIDIKAN PERBANKAN
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI BENGKULU
TAHUN AJARAN 2015/2016
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI
PEMBAHASAN
A.
Hybrid
Contracts...........................................................................................
B. Landasan Fiqh dan Pendapat Ulama.......................................................... ..
C. Macam-macam Hybrid Contract...................................................................
D. Hybrid Contract yang Dilarang.....................................................................
E. Ketentuan (Dhawabith) Hybrid Contract......................................................
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
PEMBAHASAN
A.
Hybrid Contract
Terdapat hubungan yang kuat antara inovasi produk denganpengembangan pasar
bank syariah. Artinya semakin inovatif bank syariah membuat produk, semakin
cepat pula pasar berkembang. Maka lemahnya inovasi produk bank syariah,
bagaimanapun akan berimbas secara signifikan kepada lambatnya pengembangan
pasar (market expansion). Lemahnya inovasi produk dan pengembangan pasar
(market expansion) bank syariah harus segera di atasi, agar akselerasi
pengembangan bank syariah lebih cepat. Inovasi produk diperlukan agar bank
syariah bisa lebih optimal dalam menghadapi fenomena global. Karena itu harus
melakukan inisiatif dalam pengembangan pasar dan pengembangan produk. Kurangnya inovasi produk antara lain :
1.
kemampuan SDM yang masih terbatas
2.
Tahapan untuk
mengembangkan produk dengan kreatif dan inovatif
Dr. Mabid Al-Jarhi, mantan
direktur IRTI IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang adalah
sebuah keniscayaan. Hambatannya terletak pada literatur ekonomi syariah yang
ada di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan
dua akad dalam satu transaksi akad (two in one). Larangan ini belum dikaji
kembali sehingga menyempitkan pengembangan produk bank syariah. Sebetulnya
syariah membolehkannya dalam ruang lingkup yang sangat luas. Dalam kajian fiqh,
istilah yang digunakan untuk menyebut multi akad adalah al-‘uqûdu murakkabah.Sedangkan
dalam trend modern, istilah ‘uqudu
murakkabah sering disebut dengan istilah hybrid contract.[1]
Sementara itu Abdullah al-“Imrani
mendefinisikan hybrid contract yaitu himpunan beberapa akad kebendaan yang
dikandung oleh sebuah akad baik secara gabungan maupun secara timbal balik,
sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat
hukum dari satu akad.
Kedua definisi di atas tampaknya mirip dan tidak terdapat perbedaan. Hybrid
contract itu dipandang sebagai satu kesatuan akad dan semua akibat hukum akad-akad yang
tergabung tersebut, serta semua hak dan
kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.
Menurut asy-Syatibi, penelitian terhadap hukum Islam menunjukkan bahwa
dampak hukum dari hybrid contract tidak sama seperti saat akad itu berdiri
sendiri-sendiri. Akan tetapi harus dicatat, meskipun sudah menjadi satu
kesatuan, dalam pembuatan draft kontrak, akad-akad yang tergolong hybrid
tersebut ada yang dapat digabungkan dalam satu title kontrak dan ada pula yang
dipisahkan. Untuk musyarakah mutanaqishah, akad syirkah milk, dibuat terpisah
dengan akad ijarah, demikian pula akad pembiayaan take over, masing-masing
akadnya dipisahkan, namun dipandang sebagai satu kesatuan.[2]
B.
Landasan Fiqh dan Pendapat
Ulama
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak halal dua syarat yang ada dalam jual beli”.
(HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Ahmad dalam kitabnya Al-Mughni berkata,
“Dilarang dua syarat dalam satu akad jual beli”.
kasus hybrid contract yang dilarang berdasarkan hadits Nabi Saw. Menurut
pandangan ulama, Aliudin Za’tary dalam buku Fiqh al-Muamalah al-Maliyah
al-Muqaran mengatakan “Tidak ada larangan dalam syariah tentang penggabungan dua akad dalam satu transaksi,
baik akad pertukaran (bisnis) maupun
akad tabarru’. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil yang memerintahkan untuk memenuhi (wafa) syarat-syarat dan
akad-akad” Dengan demikian, hukum multi akad adalah boleh.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama
Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah
dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan bahwa
hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan
selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya.
(Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah). Kecuali menggabungkan dua akad
yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan
akad yang lain, karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli
cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi
akad dan akad secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1
yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”. (QS.
Al-Mâidah : 1).[3]
C.
Macam-macam Hybrid
Contract
Pertamahybrid contract yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkanama
baru, seperti bai’ istighlal, bai’ tawarruq, musyarakah mutanaqishah dan bai’
wafa’. Berikut penjelasannya :
a. Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli
dan ijarah, sehingga bercampur 3 akad.
Akad ini disebut juga three in one.
b. Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak
pertama, Jual Beli kedua dengan pihak ketiga.
c.
Musyarakah Mutanaqishah
(MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik dengan Ijarah yang mutanaqishah
atau jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad
ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ). Substansinya
hampir sama dengan IMBT (Ijarah Muntahiya bi Tamlik), karena pada akhir periode
barang menjadi milik nasabah, namun
bentuk ijarahnya berbeda, karena transfer of title ini bukan dengan
janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah,
karena itu sebutannya ijarah saja, bukan
IMBT.
d.
Bai’ wafa’ adalah
percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan nama baru. Pada awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah,
akad ini merupakan multiakad (hybrid),
tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad, dengan nama baru yaitu bai’ wafa’.
Hybrid Contract, yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak melahirkan
nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan dipraktikkan dalam
suatu transaksi. Contohnya :
1.
Kontrak akad pembiayaan take over pada alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI No 31/2002.
2.
Kafalah wal ijarah serta
qardh dan ijarah pada kartu kredit.
3.
Wa’ad untuk wakalah
murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan rekening koran or line
facility.
4.
Murabahah wal wakalah pd
pembiayaan murabahah basithah.
5.
Wakalah bil ujrah pada
L/C, RTGS, General Insurance, dan
Factoring.
6.
Kafalah wal Ijarah pada
L/C, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu kredit.
7.
Mudharabah wal
murabahah/ijarah/istisna pada pembiayaan terhadap karyawan koperasi instansi.
8.
Hiwalah dan syirkah pada factoring.
9.
Rahn wal ijarah pada REPO,
SBI dan, SPN dan SBSN
10.
Qardh, Rahn dan Ijarah
pada produk gadai emas di bank syariah
11.
Dalam transaksi pasar uang
antar bank syariah yang menggunakan
bursa komoditas dibutuhkan 5 akad, yaitu :
a.
Akad bai’ antara bank
surplus (peserta komersial) dengan pedagang komoditas (peserta komersial).
b.
Akad murabahah antara bank
surplus dengan bank deficit (konsumen komoditas).
c.
Akad bai’ antara bank deficit dengan pedagang komoditas.
d.
Wakalah antara bank deficit kepada agen atau Bursa
Berjangka Jakarta.
Hybrid Contract yang mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan). Bentuk ini dilarang dalam syariah. Selain ituada pula hybrid contract yang mustatir (tersembunyi), Misalnya,
tabungan mudharabah di bank syariah.
D.
Hybrid Contract yang
Dilarang
Dalam hadisNabi secara
jelas menyatakan dua bentuk multi akad yang dilarang. Yaitu multi akad dalam
jual beli (bai’) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli,
dan dua akad dalam satu transaksi. Berikut penjelasannya :
1. Menggabungkan akad Bai’ (jual beli ) dan pinjaman
Misalnya Ali meminjamkan
(qardh) sebesar 1000 dirham, lalu dikaitkan dengan penjualan barang yang
bernilai 900 dirham, tetapi harga penjualan itu tetap harga 1000
dirham.Seolah-olah Ali memberi pinjaman 1000 dengan akad qardh, dan menjual
barang seharga 900, agar mendapatkan margin 100 dirham. Di sini Ali memperoleh kelebihan 100, karena harga
penjualan barang menjadi Rp 1000.
Namun menurut Imrani, tidak selamanya
diharamkan, karena jika harga barang sesuai dengan harga pasar, maka tidak
menjadi masalah hybrid contract antara qardh dan jual beli. PenegasanLarangan ini hendak menunjukkan bahwa qardh tidak boleh dikaitkan
dengan akad apapun, qardh adalah akad tabarru’, bukan akad bisnis.
2. Bai’atan fi Bay’ataini (dua akad jual beli dalam satu
jual beli)
Larangan
penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis
Nabi yang berbunyiDari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual
beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik).
Misalnya seorang penjual
berkata kepada orang banyak di sebuah jamaah, ”Saudara-saudara, saya menjual
barang ini Rp 1 Juta, jika dibayar cash, dan Rp 1,2 juta jika cicilan setahun”.
Lalu seorang yang hadir berkata, “Saya beli”. Di sini telah terjadi ijab dan
qabul, sementara harganya tidak jelas, karena dipilihkan dua macam harga.
Ada pula yang menafsirkan
seseorang menjual suatu barang dengan
cicilan, dengan syarat pembeli harus menjual kembali kepada orang yang
menjual itu dengan harga lebih rendah secara kontan.Akad al-’Inah ini merupakan
hîlah dari riba. Inilah yang disebut bai’ al’inah. Menurut Ibnu Qayyim,
penafsiran inilah yang paling kuat.[5]
E.
Ketentuan (Dhawabith)
Hybrid Contract
Larangan Hybrid Contract
disebabkan beberapa hal, diantaranya:
1. Dilarang karena Nash Agama
“Dari Abu Hurairah,
berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik).
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad
jual beli didasarkan pada nash hadis, “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah
melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik). Dalam sebuah hadis
disebutkan: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”.
(HR. Ahmad). Selain
perspektif nash agama, larangan ini sesungguhnya dikarenakan transaksi itu mengandung riba dan
gharar.
2. Dilarang karena Hilah kepada Riba
Contohnya ialah
Jual Beli al-I’nah. Jual beli dilarang karena hilah kepada riba. Contoh
berikutnya ialah praktik tawarruq munazzam yang berputar dan bank surplus
bertindak juga sebagai wakil pembeli dalam menjual barang ke agen di bursa
sebagaimana yang difatwakan ulama.
Contoh berikutnya
menggabungkan akad tawarruq, wakalah dan wadi’ah untuk pembiyaaan multi guna.
Di mana pihak ketiga adalah anak perusahaan dari Bank Islam yang memberikan
dana.
3. Multi Akad Menyebabkan Jatuh ke Riba.
Contoh, A
meminjamkan uang kepada B sebesar Rp 1 juta, dengan ketentuan B harus membeli
hand phone
A dengan harga sekian.Multi akad dari gabungan qardh dan hibah/manfaat lain
dilarang syariah. Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan
persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Misalnya A meminjamkan
uang kepada si B, dengan syarat A menempati rumah si B. Contoh lain C
meminjamkan kpd D uang Rp 200.000, tetapi C memakai motor D selama 3 hari.
4. Multi Akad Menyebabkan Jatuh ke Gharar
Misalnya sebuah
perusahaan multifinance menjual mobil kepada nasabah, dengan harga tertentu,
misalkan Rp 250 juta untuk masa 24 bulan, tanpa urbun di awal. Namun perusahaan
itu menawarkan beberapa alternatif besaran urbun, tanpa ditetapkan (dipilih)
salah satu alkternatif besaran urbunnya. Jika urbun dibayar bulan ke enam,
harganya lebih murah, jika bulan ke 13
harga urbunnya sekian, dst. Dengan beragamnya harga tersebut, maka tidak
ada kepastian harga pembelian barang tersebut.Inilah yang disebut dengan gharar.
PENUTUP
Di perbankan syariah, sebuah produk yang ditawarkan akan senantiasa melekat
dengan akad yang menyertaianya. Hal ini didasarkan bahwa posisi akad dalam
produk perbankan syariah menjadi penentu keabsahan transaksi. Dengan kata lain,
syah tidaknya sebuah transaksi akan sangat ditentukan oleh akad yang
menyertainya.
Pada awalnya, satu produk cukup satu
akad. Namun pada perkembangannya, produk-produk yang ditawarkan bank syariah
tidak cukup menggunakan satu akad, tetapi diparalelkan dengan akad-akad yang
lain. Ketika suatu produk membutuhkan banyak akad, maka pada tahap inilah
disebut hybrid contract.
Fenomena hybrid contract di perbankan syariah merupakan gejala yang menarik
untuk dikaji secara akademik. Oleh karena itu, tulisan ini lebih memfokuskan
pada bahasan mengenai pengertian hybrid contract, prinsip, pola desain, dan
kedudukan hukum hybrid contract.
Hybrid Contracts sebenarnya bukanlah teori baru dalam khazanah fiqih muamalah. Para ulama klasik
Islam sudah lama mendiskusikan topik ini berdasarkan dalil-dalil syara’ dan
ijtihad yang shahih. Namun, dalam kajian fiqih muamalah di pesantren bahkan di
Perguruan Tinggi Islam, isu ini kurang banyak dibahas, karena belum banyak
bersentuhan dengan realita bisnis di
masyarakat. Pada masa kemajuan lembaga keuangan dan perbankan di masa sekarang,
konsep dan topic hybrid contracts kembali mengemuka dan menjadi teori dan
konsep yang tak terelakkan. Sejumlah buku dan karya ilmiah pun bermunculan
membahas dan merumuskan teori al-‘ukud al-murakkabah (hybrid contracts) ini,
terutama karya-karya ilmiah dari Timur Tengah.
DAFTAR
PUSTAKA
Agustianto. Inovasi
Produk Perbankan Syariah dari Aspek Pengembangan Fikih Muamalah. Makalah
tidak diterbitkan. Jakarta: IAEI.
Rivai, Veithzal, Abdul
Hadi S, Tatik Mariyanti, Hanan Wihasto. Principle of Islamic Finance
Dasar-Dasar Keuangan Islam Saatnya Hijrah ke Sistem Keuangan Islam yang Telah
Teruji Keampuhannya. Yogyakarta: BPFE
Nikensari, Sri Indah.
2012. Perbankan Syariah Prinsip, Sejarah dan Aplikasinya. Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra.
[1]Agustianto. Inovasi Produk Perbankan Syariah dari Aspek Pengembangan
Fikih Muamalah. Makalah tidak diterbitkan. Hal 12-13 Jakarta.
[2]Rivai dkk. Principle of Islamic Finance Dasar-Dasar Keuangan
Islam Saatnya Hijrah ke Sistem Keuangan Islam yang Telah Teruji Keampuhannya. hal 87-89 Yogyakarta.
[3]Nikensari, Sri Indah. 2012. Perbankan Syariah Prinsip, Sejarah dan
Aplikasinya, PT Pustaka Rizki Putra, hal 112-115
semarang.
[4]Nikensari, Sri Indah. 2012. Perbankan Syariah Prinsip, Sejarah dan
Aplikasinya.: PT Pustaka Rizki Putra, hal 56-60, semarang.
[5]Agustianto. Inovasi
Produk Perbankan Syariah dari Aspek Pengembangan Fikih Muamalah. Makalah
tidak diterbitkan, hal 15-17 Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar