Selasa, 21 Juni 2016


MAKALAH FIQIH MUAMALAH
Hybird Contracts Dalam Produk Keuangan Syari’ah





        Disusun oleh        : 1. Hutri Astari
2. Novi Dwi Hermatiyanti
3. Nadi Irawansyah

                    

Dosen Pembimbing
Khairiah Elwardah







FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
PRODI PENDIDIKAN PERBANKAN SYARI’AH
 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
TAHUN AJARAN 2015/2016
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
PEMBAHASAN
A.    Hybrid Contracts...........................................................................................
B.     Landasan Fiqh dan Pendapat Ulama.......................................................... ..
C.     Macam-macam Hybrid Contract...................................................................
D.    Hybrid Contract yang Dilarang.....................................................................
E.     Ketentuan (Dhawabith) Hybrid Contract......................................................
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA




PEMBAHASAN
A.    Hybrid Contract
Terdapat hubungan yang kuat antara inovasi produk denganpengembangan pasar bank syariah. Artinya semakin inovatif bank syariah membuat produk, semakin cepat pula pasar berkembang. Maka lemahnya inovasi produk bank syariah, bagaimanapun akan berimbas secara signifikan kepada lambatnya pengembangan pasar (market expansion). Lemahnya inovasi produk dan pengembangan pasar (market expansion) bank syariah harus segera di atasi, agar akselerasi pengembangan bank syariah lebih cepat. Inovasi produk diperlukan agar bank syariah bisa lebih optimal dalam menghadapi fenomena global. Karena itu harus melakukan inisiatif dalam pengembangan pasar dan  pengembangan produk. Kurangnya inovasi produk antara lain :
1.      kemampuan SDM  yang masih terbatas
2.      Tahapan untuk mengembangkan produk dengan kreatif dan inovatif
Dr. Mabid Al-Jarhi, mantan direktur IRTI IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang adalah sebuah keniscayaan. Hambatannya terletak pada literatur ekonomi syariah yang ada di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua akad dalam satu transaksi akad (two in one). Larangan ini belum dikaji kembali sehingga menyempitkan pengembangan produk bank syariah. Sebetulnya syariah membolehkannya dalam ruang lingkup yang sangat luas. Dalam kajian fiqh, istilah yang digunakan untuk menyebut multi akad adalah al-‘uqûdu murakkabah.Sedangkan dalam trend  modern, istilah ‘uqudu murakkabah sering disebut dengan istilah hybrid contract.[1]







Sementara itu  Abdullah al-“Imrani mendefinisikan hybrid contract yaitu himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad baik secara gabungan maupun secara timbal balik, sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad.
Kedua definisi di atas tampaknya mirip dan tidak terdapat perbedaan. Hybrid contract itu dipandang sebagai satu kesatuan akad  dan semua akibat hukum akad-akad yang tergabung  tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.
Menurut asy-Syatibi, penelitian terhadap hukum Islam menunjukkan bahwa dampak hukum dari hybrid contract tidak sama seperti saat akad itu berdiri sendiri-sendiri. Akan tetapi harus dicatat, meskipun sudah menjadi satu kesatuan, dalam pembuatan draft kontrak, akad-akad yang tergolong hybrid tersebut ada yang dapat digabungkan dalam satu title kontrak dan ada pula yang dipisahkan. Untuk musyarakah mutanaqishah, akad syirkah milk, dibuat terpisah dengan akad ijarah, demikian pula akad pembiayaan take over, masing-masing akadnya dipisahkan, namun dipandang sebagai satu kesatuan.[2]

B.     Landasan Fiqh dan Pendapat Ulama
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak halal dua syarat yang ada dalam jual beli”.
(HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Ahmad dalam kitabnya Al-Mughni berkata, “Dilarang dua syarat dalam satu akad jual beli”.
kasus hybrid contract yang dilarang berdasarkan hadits Nabi Saw. Menurut
pandangan ulama, Aliudin Za’tary dalam buku Fiqh al-Muamalah al-Maliyah al-Muqaran mengatakan “Tidak ada larangan dalam syariah tentang  penggabungan dua akad dalam satu transaksi, baik akad  pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil yang memerintahkan  untuk memenuhi (wafa) syarat-syarat dan akad-akad” Dengan demikian, hukum multi akad adalah boleh.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama
Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contract adalah sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. (Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah). Kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan  qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi.
Pendapat ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi akad dan akad secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”. (QS. Al-Mâidah : 1).[3]

C.    Macam-macam Hybrid Contract
Pertamahybrid contract yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkanama baru, seperti bai’ istighlal, bai’ tawarruq, musyarakah mutanaqishah dan bai’ wafa’. Berikut penjelasannya :
a.       Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah, sehingga bercampur  3 akad. Akad ini disebut juga  three in one.
b.      Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak pertama, Jual Beli kedua dengan pihak ketiga.
c.          Musyarakah Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik dengan Ijarah yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ). Substansinya hampir sama dengan IMBT (Ijarah Muntahiya bi Tamlik), karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun  bentuk ijarahnya berbeda, karena transfer of title ini bukan dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah, karena itu  sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.
d.         Bai’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan nama baru. Pada  awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad  ini merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad, dengan nama baru  yaitu bai’ wafa’.
            Hybrid Contract, yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak melahirkan nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan dipraktikkan dalam suatu transaksi. Contohnya :
1.         Kontrak  akad pembiayaan take over pada  alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI No  31/2002.
2.         Kafalah wal ijarah serta qardh dan ijarah  pada kartu kredit.
3.         Wa’ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan rekening koran or line facility.
4.         Murabahah wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.
5.         Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS,  General Insurance, dan Factoring.
6.         Kafalah wal Ijarah pada L/C, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu kredit.
7.         Mudharabah wal murabahah/ijarah/istisna pada pembiayaan terhadap karyawan koperasi instansi.
8.         Hiwalah dan syirkah  pada factoring.
9.         Rahn wal ijarah pada REPO, SBI dan, SPN dan  SBSN
10.     Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah
11.     Dalam transaksi pasar uang antar bank syariah yang menggunakan  bursa komoditas dibutuhkan 5 akad, yaitu :
a.    Akad bai’ antara bank surplus (peserta komersial) dengan pedagang komoditas (peserta komersial).
b.   Akad murabahah antara bank surplus dengan bank deficit (konsumen komoditas).
c.    Akad  bai’ antara bank deficit  dengan pedagang  komoditas.
d.   Wakalah  antara bank deficit kepada agen atau Bursa Berjangka Jakarta.
e.    Akad bai’ muqayadhah, antara sesama pedagang komodity.[4]

Hybrid Contract  yang  mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan).  Bentuk ini dilarang dalam syariah. Selain ituada pula hybrid contract yang mustatir (tersembunyi), Misalnya, tabungan mudharabah di bank syariah.


D.    Hybrid Contract yang Dilarang
Dalam hadisNabi secara jelas menyatakan dua bentuk multi akad yang dilarang. Yaitu multi akad dalam jual beli (bai’) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli, dan dua akad dalam satu transaksi. Berikut penjelasannya :
1.   Menggabungkan  akad  Bai’ (jual beli ) dan pinjaman
Misalnya Ali meminjamkan (qardh) sebesar 1000 dirham, lalu dikaitkan dengan penjualan barang yang bernilai 900 dirham, tetapi harga penjualan itu tetap harga 1000 dirham.Seolah-olah Ali memberi pinjaman 1000 dengan akad qardh, dan menjual barang seharga 900, agar mendapatkan margin 100 dirham. Di sini Ali  memperoleh kelebihan 100, karena harga penjualan barang menjadi Rp 1000.
 Namun menurut Imrani, tidak selamanya diharamkan, karena jika harga barang sesuai dengan harga pasar, maka tidak menjadi masalah hybrid contract antara qardh dan jual beli. PenegasanLarangan ini hendak menunjukkan bahwa qardh tidak boleh dikaitkan dengan akad apapun, qardh adalah akad tabarru’, bukan akad bisnis.
2.   Bai’atan fi Bay’ataini (dua akad jual beli dalam satu jual beli)
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyiDari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik).
Misalnya seorang penjual berkata kepada orang banyak di sebuah jamaah, ”Saudara-saudara, saya menjual barang ini Rp 1 Juta, jika dibayar cash, dan Rp 1,2 juta jika cicilan setahun”. Lalu seorang yang hadir berkata, “Saya beli”. Di sini telah terjadi ijab dan qabul, sementara harganya tidak jelas, karena dipilihkan dua macam harga.
Ada pula yang menafsirkan seseorang menjual suatu barang dengan  cicilan, dengan syarat pembeli harus menjual kembali kepada orang yang menjual itu dengan harga lebih rendah secara kontan.Akad al-’Inah ini merupakan hîlah dari riba. Inilah yang disebut bai’ al’inah. Menurut Ibnu Qayyim, penafsiran inilah yang paling kuat.[5]

E.     Ketentuan (Dhawabith) Hybrid Contract
Larangan Hybrid Contract disebabkan beberapa hal, diantaranya:
1.   Dilarang karena Nash Agama
“Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik). Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada nash hadis, “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual beli”. (HR. Malik). Dalam sebuah hadis disebutkan: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”. (HR. Ahmad). Selain perspektif nash agama, larangan ini sesungguhnya dikarenakan transaksi itu mengandung riba dan gharar.
2.   Dilarang karena Hilah kepada Riba
Contohnya ialah Jual Beli al-I’nah. Jual beli dilarang karena hilah kepada riba. Contoh berikutnya ialah praktik tawarruq munazzam yang berputar dan bank surplus bertindak juga sebagai wakil pembeli dalam menjual barang ke agen di bursa sebagaimana yang difatwakan ulama.
Contoh berikutnya menggabungkan akad tawarruq, wakalah dan wadi’ah untuk pembiyaaan multi guna. Di mana pihak ketiga adalah anak perusahaan dari Bank Islam yang memberikan dana.
3.   Multi Akad Menyebabkan Jatuh ke Riba.
Contoh, A meminjamkan uang kepada B sebesar Rp 1 juta, dengan ketentuan B harus membeli hand    phone A dengan harga sekian.Multi akad dari gabungan qardh dan hibah/manfaat lain dilarang syariah. Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Misalnya A meminjamkan uang kepada si B, dengan syarat A menempati rumah si B. Contoh lain C meminjamkan kpd D uang Rp 200.000, tetapi C memakai motor D selama 3 hari.
4.   Multi Akad Menyebabkan Jatuh ke Gharar
Misalnya sebuah perusahaan multifinance menjual mobil kepada nasabah, dengan harga tertentu, misalkan Rp 250 juta untuk masa 24 bulan, tanpa urbun di awal. Namun perusahaan itu  menawarkan beberapa alternatif  besaran urbun, tanpa ditetapkan (dipilih) salah satu alkternatif besaran urbunnya. Jika urbun dibayar bulan ke enam, harganya lebih murah, jika bulan ke 13  harga urbunnya sekian, dst. Dengan beragamnya harga tersebut, maka tidak ada kepastian harga pembelian barang tersebut.Inilah yang disebut dengan gharar.
PENUTUP

Di perbankan syariah, sebuah produk yang ditawarkan akan senantiasa melekat dengan akad yang menyertaianya. Hal ini didasarkan bahwa posisi akad dalam produk perbankan syariah menjadi penentu keabsahan transaksi. Dengan kata lain, syah tidaknya sebuah transaksi akan sangat ditentukan oleh akad yang menyertainya.
Pada awalnya,  satu produk cukup satu akad. Namun pada perkembangannya, produk-produk yang ditawarkan bank syariah tidak cukup menggunakan satu akad, tetapi diparalelkan dengan akad-akad yang lain. Ketika suatu produk membutuhkan banyak akad, maka pada tahap inilah disebut hybrid contract.
Fenomena hybrid contract di perbankan syariah merupakan gejala yang menarik untuk dikaji secara akademik. Oleh karena itu, tulisan ini lebih memfokuskan pada bahasan mengenai pengertian hybrid contract, prinsip, pola desain, dan kedudukan hukum hybrid contract.
Hybrid Contracts sebenarnya bukanlah teori baru dalam  khazanah fiqih muamalah. Para ulama klasik Islam sudah lama mendiskusikan topik ini berdasarkan dalil-dalil syara’ dan ijtihad yang shahih. Namun, dalam kajian fiqih muamalah di pesantren bahkan di Perguruan Tinggi Islam, isu ini kurang banyak dibahas, karena belum banyak bersentuhan dengan realita bisnis  di masyarakat. Pada masa kemajuan lembaga keuangan dan perbankan di masa sekarang, konsep dan topic hybrid contracts kembali mengemuka dan menjadi teori dan konsep yang tak terelakkan. Sejumlah buku dan karya ilmiah pun bermunculan membahas dan merumuskan teori al-‘ukud al-murakkabah (hybrid contracts) ini, terutama karya-karya ilmiah dari Timur Tengah.











DAFTAR PUSTAKA

Agustianto. Inovasi Produk Perbankan Syariah dari Aspek Pengembangan Fikih Muamalah. Makalah tidak diterbitkan. Jakarta: IAEI.
Rivai, Veithzal, Abdul Hadi S, Tatik Mariyanti, Hanan Wihasto. Principle of Islamic Finance Dasar-Dasar Keuangan Islam Saatnya Hijrah ke Sistem Keuangan Islam yang Telah Teruji Keampuhannya. Yogyakarta: BPFE
Nikensari, Sri Indah. 2012. Perbankan Syariah Prinsip, Sejarah dan Aplikasinya. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.





[1]Agustianto. Inovasi Produk Perbankan Syariah dari Aspek Pengembangan Fikih Muamalah. Makalah tidak diterbitkan. Hal 12-13 Jakarta.
[2]Rivai dkk. Principle of Islamic Finance Dasar-Dasar Keuangan Islam Saatnya Hijrah ke Sistem Keuangan Islam yang Telah Teruji Keampuhannya. hal 87-89 Yogyakarta.
[3]Nikensari, Sri Indah. 2012. Perbankan Syariah Prinsip, Sejarah dan Aplikasinya, PT Pustaka Rizki Putra, hal 112-115 semarang.
[4]Nikensari, Sri Indah. 2012. Perbankan Syariah Prinsip, Sejarah dan Aplikasinya.: PT Pustaka Rizki Putra, hal 56-60, semarang.

[5]Agustianto. Inovasi Produk Perbankan Syariah dari Aspek Pengembangan Fikih Muamalah. Makalah tidak diterbitkan, hal 15-17 Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar